Begitu banyak setan mengepung kebenaran: "...dari golongan jin dan manusia." (Q.S. An-Nas) www.pimpmyspace.org |
Salaam, Sobat Sarang..
Kali ini saya ketengahkan topik yang tampaknya sering orang
anggap sepele. Praktik berbahasa berupa penggunaan kalimat logis biasanya
memainkan asas manfaat (pragmatis). Nah, adakalanya penggunaan kalimat yang
logis ini selain disukai oleh kalangan akademis dan cendekia, beberapa di
antaranya juga disukai oleh Iblis. :vD
Kok bisa?!! Kalimat yang seperti apa?! :~
Begini ceritanya…
Begini ceritanya…
Ki Sabda Langit – Hanung Bramantyo: Dua
Kutub Satu Sumbu
|
Sobat Sarang tentu masih ingat dengan Ki Sabda Langit, sesepuh kejawen
dunia maya, yang pernah dibahas blog ini di bawah tajuk Untung
Aku Bukan Orang Jawa.
Nah, pada suatu
kesempatan yang lain, beliau ini pernah mencetuskan filosofi rasa manis via
tulisan berjudul Politik Ketuhanan. {wew, keren tenan ya, judulnya..}. Tulisan
tersebut dibuat dengan model tanya jawab antara seorang A dan seorang B.
Berikut ini kutipannya:
B :
gula pasir itu manis, merupakan sesuatu yg pasti, dan lidah semua org bisa
merasakan bahwa gula itu manis. Gula adalah unsur ragawi atau “kulit” (sembah
raga), sementara rasa manis adalah hakekatnya (sembah rasa). Nah, rasa manis
tidak hanya dimiliki oleh gula pasir, ada gula jawa, gula merah, gula aren,
gula-gula, sakarin, madu, sari bunga, getah pohon, jagung, sari buah, dan
sebagainya.
Itulah agama atau keyakinan, yang sepadan dengan berbagai
materi yg manis tersebut. Anda ingin merasakan rasa manis, anda bebas memilih
mau pake gula merah, gula pasir, gula aren, sakarin atau pemanis buatan, sari
buah, madu, jagung (tropicana), atau yg lainnya semua terserah pilihan anda,
mana yang paling anda sukai dan pas dengan selera lidah anda.
Nah…apa yg terjadi dengan umat beragama di dunia ini ? Yaitu
tadi…berebut saling mengklaim bahwa rasa manis hanya bersumber dari gula pasir,
umat yg lain bilang salah itu keliru dan sesat, karena yang bener sumber rasa
manis adalah berasal dari sakarin. Hahaha….seperti org buta yg pegang gajah.
Tapi orang buta tersebut suka menuduh org lain sebagai org buta yg pegang
gajah.
A : loh..bukankah agama mempunyai misi menyebarkan kebenaran
di muka bumi..?!
B : wahh, daya pikir rasio anda kok terbatas banget ya. Kok
ramudheng-mudheng to !. Yah..begitulah misi agama, bahkan banyak agama
misinya ya demikian itu…menyebar dan mengkampanyekan kebenaran, tapi itu
tidak menjamin dunia ini tenteram dan damai ?
A : loh kok kontradiksi dengan misinya ?
B : sudah jelaskan … apa hasilnya? masing-masing agama saling
berebut dirinyalah yg paling bener, bahkan terkesan memaksakan diri
mbener-benerke ajarane dewe-dewe !
|
Para pembaca tulisan
di atas jelas-jelas diarahkan untuk mempertanyakan manfaat agama, atau secara
lebih lugasnya, digiring pada simpulan:
“Bertuhan itu tidak
wajib beragama karena agama pada kenyataannya hanya menghasilkan orang-orang
picik yang merasa benar sendiri (primordial).” :o
Bagaimana ilmu tauhid Islam menjawab retorika seperti ini?
Mudah saja. Sebenarnya
setiap yang namanya keyakinan memang akan melahirkan rasa manis berupa
ketenangan jiwa.
- orang
beragama yang meyakini adanya rumah sejati di akhirat (surga-neraka)
jiwanya tenang jika ruh dan jasadnya sudah melaksanakan perintah dan
menjauhi larangan;
- orang
kebatinan seperti kejawen, jiwanya akan tenang jika jiwo-rogonya
sudah selaras dengan alam semesta, tanpa perlu mengakui adanya surga dan
neraka;
- orang
ateis juga jiwanya tenang dengan keyakinannya memanjakan diri bahwa Tuhan
itu tidak ada.
Di titik ini, Ki Sabda
ada benarnya, meski tidak secara mutlak. Sebab kualitas ketenangan jiwa orang
beragama berbeda dengan orang tidak beragama. Dari mana saya bisa memastikan
seperti itu? Apa tolak ukurnya (parameternya)?
Lembaga yang disebut agama, sama persis dengan
suatu negara. Ia memerlukan landasan "konstitusi" yang kuat dan
teruji untuk mendapat pengakuan secara luas. Agama sebagai suatu lembaga
spiritual-ketuhanan memiliki apa yang tidak dimiliki komunitas kebatinan maupun
komunitas keingkaran. Silakan cermati tabel di bawah ini.
|
Agama
|
Kebatinan
|
Ateisme
|
dasar
hukum
|
kitab suci: teruji
secara ilmiah dan imani;
ajeg
|
primbon warisan
leluhur: kadang-kadang petunjuknya sesuai
dan kadang-kadang
terbukti secara imani;
labil
|
logika:
keterujiannya disesuaikan dengan penemuan ilmiah terkini;
labil
|
penyampai risalah
|
para nabi yang
tercatat dalam
sejarah dunia
|
orang sakti yang
bisa kontak dengan roh leluhur (jin); hanya tercatat di buku primbon
|
para filsuf pelopor
pemikiran; tercatat dalam sejarah dunia sebagian besar mati bunuh diri
|
teladan
pengamalan (sunah)
|
segala yang terjadi
pada diri nabi: ucapan dan perbuatan, termasuk cara beribadah, makan, minum,
tidur, menikah, dll.
|
segala yang
diwejangkan roh leluhur (jin) yang
disesuaikan dengan
adat masing-masing
|
diri pribadi
masing-masing,
makan-minum-tidur-kawin
semaunya, yang penting tidak mengganggu orang lain
|
pemeluk
|
multietnis global
dengan
satu pedoman yang sama |
sempalan etnis atau
komunitas tertentu dengan pedoman primbon masing-masing
|
multietnis dengan
jumlah pedoman berbanding lurus dengan jumlah pribadinya
|
Kelemahan-kelemahan seperti inilah yang sebenarnya coba
disembunyikan Ki Sabda dari perhatian para pemeluk agama. Siasat pengalihan
yang cerdas: menggoyang keyakinan orang tentang lembaga agama agar tidak
seorang pun menyadari cacat hakiki dalam kejawenisme.
Apa buktinya? Ada
fenomena seperti ini: jika ada prinsip kejawen yang dimirip-miripkan dengan
yang ada dalam ajaran agama, biasanya pengistilahannya disandingkan. Istilah
kerennya: numpang beken. 8)
Sabda Langit:
1) Syariat; dalam falsafah
Jawa syariat memiliki makna sepadan dengan Sembah Rogo
2) Tarikat; dalam falsafah
Jawa maknanya adalah Sembah Kalbu.
3) Hakikat; dimaknai sebagai
Sembah Jiwa atau ruh (ruhullah).
4) Makrifat; merupakan tataran
tertinggi yakni Sembah Rasa atau sir (sirullah).,,,
,,,Hawa nafsu (lauwamah, amarah, supiyah) secara kejawen diungkapkan dalam bentuk akronim, yakni apa
yang disebut M5 atau malima;,,,
|
Sebaliknya, jika ada
prinsip agama yang tidak ada di kejawen, mereka mencemoohnya. :tdown
Suprayitno:
Sepanjang sejarah, yang namanya agama, tuhan, surga, neraka,
malaikat, setan, iblis dan yang gaib-gaib lainnya memang menjadi komoditas
yang sangat mengasyikkan untuk diceritakan dan ditanamkan baik sebagai musuh
bersama (common enemy) maupun sebagai “jalan hidup/way of life” terutama
untuk masyarakat yang lebih banyak menggunakan nalar mistik dari pada nalar
empiric. Demikianlah, racun agama akan terus dihipnosiskan (disebarkan)
kepada umat manusia, karena di sana banyak keuntungan yang bisa diperoleh
bagi para pemimpin hypnotik, dan mereka bisa membagi-bagikan “rasa takut” itu
kepada banyak orang. Prinsipnya, makin banyak orang yang takut maka semakin
“muluslah” racun itu bekerja.
Oon:
yg geblek mah yg nge-doktrin..belum tahu pasti apa itu
Tuhan/Alloh tapi bisa keukeuh mengklaim kebenaran..juga menakuti orang dgn
kata sesat.
Anda adalah bagian dari Tuhan
selain Anda/Aku maka ada Dia, Kami/kita dll, GABUNGAN SEMUA
itulah Alloh/Tuhan yaitu Alam Semesta.
sy kasih garansi dah, bahwa Alam Semesta adalah maha2, nyata,
bukan tak pasti/abstrak..
,,,,nah ini dia, alloh yang suka nyiksa-nyiksa kayak begini
adalah ciri khas dari allohnya orang timur tengah.
kalau Gusti Allohnya orang jawa mah, setahu saya gak pernah
ngancam gak pernah nyiksa. Kayak preman pasar aja maen ancam-ancaman.,,,
|
Nah, yang begini ini
kalau di bahasa Sunda disebut dipoyok, dilebok! :@
Untuk mengetahui latar sejarah dendam
turun-temurun kejawen terhadap Islam, silakan cari di web dengan kalimat
kunci: [Ada Apa di Balik Aliran Sesat yang Melecehkan Islam?]
Lalu di sisi mana
kalimat logis itu bisa disukai Iblis?
Pertama, yaitu dari sisi
pengingkarannya pada Tuhan, kitab suci, para nabi, yang gaib (Iblis dan setan
bahagia jika manusia mengingkari keberadaan mereka), dan takdir. Kedua, bahkan orang yang
cukup luas berpengetahuan agama (Islam) pun ikut-ikutan tergelincir dengan
permainan akal-akalan ini. Ini saya lihat pada sosok Wonkawam (sekarang
ganti nick jadi Wong Awam). :brow Sungguh amat
disayangkan…
Di pihak lain, ada juga sosok sutradara muda di dunia perfilman
Indonesia; Hanung Bramantyo,
yang terkenal berkat film-film Islami kontroversialnya {yang mengandung
propaganda Liberalis? :|| }
“Sebenarnya, menurut saya, agama adalah medium sebagaimana
kalau saya mau makan yang saya makan itu bukan piringnya, tapi vitamin yang
ada di dalam makanannya. Piring itu mau pakai porselen, pakai plastik atau
pakai daun pisang, itu adalah medium. Nah, buat saya agama hanyalah medium.
Substansinya saya bisa berdialog dengan Tuhan dan menghayati makna dari
kata-kata Tuhan itu.“
…
“Pada saat proses pembuatan film Ayat-Ayat
Cinta itu, saya tidak melakukan salat apa pun. Saya tidak salat. Itu pada
saat bulan Ramadlan. Saya juga tidak puasa dan tidak berdoa. Saya mencoba
untuk berkesenian total dan saya percaya dengan kemampuan otak saya…”.
(sumber: Eramuslim) |
Jika ada orang mengaku Islam, tapi terang-terangan membunuh syariat, maka apa pun yang keluar dari orang tersebut tidak layak diterima. Apakah itu ucapan, perbuatan, termasuk karya-karyanya meskipun bernuansa Islami. {saya belum pernah nonton film-film dia. Alhamdulillah, yah...} :P
“…barang siapa membenci sunnah-sunnahku, maka dia bukanlah
termasuk golonganku”. (Bukhari dan Muslim).
|
Kedua sosok ini
berasal dari dua kutub yang berbeda, tetapi mewakili satu sumbu ideologi yang
sama: liberalisme. Yang satu tokoh kearifan lokal (padahal kitab “sastra
jendra” tu dari kata bahasa sanskerta: India); yang satunya sosok pria trendi
interlokal (suka gaul sama turis).
Keduanya terlalu
percaya diri dalam berkeyakinan. Dikiranya hukum syariat agama itu sekadar
“cangkang” tak berguna sehingga manusia bisa langsung saja melompat ke “isi”.
Ini jugalah gejala sekularisme keimanan: memisahkan yang zahir dari yang batin.
Seandainya hakikat
kebertuhanan itu daging buah, maka agama adalah kulit buahnya. Siapa pun yang
ingin merasakan nikmatnya daging buah, dia wajib menghadapi kulitnya dulu.
Hukum syariat itu ‘kan hakikatnya pengupasan kesempurnaan jasad agar siap
menerima yang qadim.
Hanya orang manja,
kekananak-kanakan, dan pemalas yang ingin makan buah tanpa mengupas kulitnya
dulu. Hanya orang tolol yang makan buah dengan sekaligus melabrak
kulit-kulitnya. Apalagi kalau buah yang dia makan itu buah durian… xP
wkwkwkwkkw! :r
.
No comments:
Post a Comment